lembaga hisbah

PERAN LEMBAGA HISBAH A. Pendahuluan Isntitusi wilayah hisbah (WH) sebenarnya bukanlah lembaga baru dalam tradisi Negara Islam. Tradisi hisbah diletakkan langsung oleh Rasulullah SAW., beliau lah muhtasib (pejabat yang bertugas melaksanakan hisbah) pertama dalam Islam. Seringkali beliau masuk ke pasar Madinah mengawasi aktifitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang penjual gandum berlaku curang dengan menimbun gandum basah dan meletakkannya gandum kering di atas, beliau memarahi penjual tersebut dan memerintahkan untuk berlaku jujur, “barang siap yang menipu maka ia tidak termasuk golongan kami.” Rasulullah tiap hari memantau paelaksanaan syari’ah oleh masyarakat Madinah. Setiap pelanggan yang tampak olehnya langsung mendapat teguran disertai nasihat untuk memperbaikinya. Wilayatul hisbah (WH) adalah departemen resmi yang dibentuk oleh pemerintah Negara Islam. Tugas utamanya adalah melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Istilah wilayah, menurut Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syari’ah, barmakna “wewenang” dan “kekuasaan” yang dimiliki oleh institusi pemerintah untuk menegakkan jihad, keadilan, hudud, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya, semua ini merupakan keperluan agama yang terpenting. Pelembagaan WH dengan struktur yang lebih sempurna dimulai pada masa Umar bin Khattab. Umar ketika itu melantik dan menetapkan bahwa wilayatul hisbah adalah departemen pemerintah yang resmi. Tradisi ini dilanjutkan oleh Dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Turki Utsmani sampai akhirnya WH menjadi lembaga yang mesti ada dalam setiap Negara muslim. Pada masa kejayaan Islam DI Andalusia, institusi pengawas syari’ah disebut dengan mustasaf., sekarang dikalangan masyarakat spanyol dikenal dengan al-motacen. Setelah Dinasti Turki Usmani runtuh, sulit dilacak Negara muslim yang masih mempraktekan WH, seiring dengan dikuasainya Negara-negara muslim oleh kolonialisme, institusi ke-Islaman yang sebenarnya sudah mapan ini lambat laun hilang bersamaan dengan hilangnya berbagai institusi Islam lainnya. Literature tentang wilayah hisbah sangat banyak dan tersebar dalam berbagai kitab fiqih. Para ulama awal Islam telah meletakkan landasan teoritis dan menjelaskan dengan rici tugas, wewenang, bentuk, dan perangkat institusi Hisbah sebagai manual pelaksanaan lembaga ini. Kajian tentang WH biasanya dimasukkan dalam bab al-Qadha’ (peradilan). Namun, ada juga ulama seperti Imam al-Mawardi yang membahas WH dalam bab tersendiri secara detail dalam kitabnya al-Akhkam al-Sulthaniyyah. Bahkkan Ibnu Taymiyyah , karana mengnggap begitu pentingnya institusi ini menyusun sebuah risalah khusu landasan teori dan operasional WH dalam kitab al-Hisbah fi al-Islam. B. Pengertian Hisbah Hisbah secara etimologi berkisar pada memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Misalnya, si Zaed melakukan hisbah terhadap si fulan; artinya mengingkari perbuatannya yang buruk (tidak setuju dengan perbutannya itu).[1] Sedangkan makna terminologinya adalah , memerintahkan kebaikan apabila ada yang meninggalkannya, melarang kemungkaran apabila ada yang melakukannya.[2] Konsep hisbah diatas mengulas agar bisa mencakup semua anggota masyarakat yang mampu memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, apakah mereka ditugasi oleh Negara ataukah tidak diwajibkan secara resmi. Sebagaimana ruang lingkup hisbah mencakup hak-hak Allah dan hak-hak manusia.artinya bahwa hisbah mencakup semua sisi kehidupan. [3] Hisbah adalah sebuah institusi keagamaan dibawah kendali pemerintahan yang mengawasi masyarakat agar menjalankan kewajibannya dengan baik, ketika masyarakat mulai untuk mengacuhkannya dan melarang masyarakat melakukan hal yang salah, saat masyarakat mulai tebiasa dengan kesalahan itu. Tujuan umumnya adalah untuk menjaga lingkungan masyarakat dari kerusakan, menjaga takdir yang ada, dan memastikan kesejahteraan masyarakat baik dalam hal keagamaan ataupun tingkah laku sehari-hari sesuai dengan hukum Allah. Bagaimana hisbah dapat menghubungkan antara menjalankan yang wajib dan menjauhi yang haram? Atau menyeru kepada yang hak dan mencegah yang munkar? Allah telah membuat peraturan yang sangat sesuai dengan kemampuan manusia, dalam al-Qur’an Allah berfirman : “dan hendaklah diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS.3: 104) Nabi Muhammad SAW., pun bersabda :”Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika ia tidak bisa, mka rubahlah denganmulutnya. Jika ia tidak bisa juga, mka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” Firman Allah dan Rosulullah diatas menjadi landasan kuat munculnya hisbah. Harus ada sebuah institusi yang menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Ini memang bukan hanya tugas institusi hisbah saja atau petugas-petugas hisbah, ini memang kewajiban setiap muslim. Namun, agar control dapat berjalan denganbaik, terutama dalam suatu Negara, maka hisbah sangat diperlukan. C. Kewenangan Lembaga Hisbah Dalam Mengatur Bisnis Imam Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah mengatakan: WH mempunyai tugas melaksanakan amar ma’ruf jika tampak nyata orang mengerjakannya. WH mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, tak heran kalau Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah dengan fungsi Khilafah (pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara’ adalah tugas muhtasib (petugas WH) untuk mengawasi terlaksana atau tidak di dalam masyarakat. Ia memasuki hamper seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai shalat jum’at, melarang berbuat maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal, juga aspek social budaya, melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi, minuman keras, dan lain-lain. Menurut Al-Mawardi kewenangan lembaga hisbah ini tertuju kepada tiga hal yakni pertama : dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan takaran atau timbangan, kedua ; dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga seperti pengurangan takaran dan timbangan pasar, menjual bahan makanan yang sudah kadarluarsa dan ketiga : dakwaan yang terkait dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang mampu membayarnya. Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa kekuasaan al-Hisbah ini hanya terbatas pada pengawasan terhadap penunaian kebaikan dan melarang orang dari kemungkaran. Dalam hal ini penyuruhan kepada kebaikan dibagi kepada tiga bagian, bagian pertama : menyuruh kepada kebaikan yang terkait dengan hak-hak Allah misalnya, menyuruh orang untuk melaksanakan shalat jum’at jika ditempat tersebut sudah cukup orang untuk melaksanakannya dan menghukum mereka jika terjadi ketidakberesan dalam penyelenggaraan shalat tersebut, kedua : terkait dengan hak-hak manusia,misalnya penanganan hak yang tertunda dan penundaan pembayaran hutang. Muhtasib berhak menyuruh orang yang mempunyai hutang untuk segera melunasinya, ketiga : terkait dengan hak bersama antara hak-hak Allah dan hak-hak manusia, misalnya menyuruh para wali menikahkan gadis-gadis yatim dengan orang laki-laki yang sekufu, atau mewajibkan wanita-wanita yang dicerai untuk menjalankan ‘iddahnya. Para muhtasib berhak menjatuhkan ta’zir kepada wanita-wanita itu apabila ia tidak mau menjalankan ‘iddahnya. Namun demikian WH hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf dikalangan masyarakat, yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau juga sering disebut dengan perkara-perkara yang menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa dugaan dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang WH, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau wilayatul mazalim. Untuk Aceh, WH juga bertugas mengawasi qanun-qanun yang berkaitan dengan syari’at Islam yang telah ditetapkan. Di samping mengawasi, WH juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari’at. Tentu hukuman itu berbentuk ta’zir, yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara’. Hukuman yang dijatuhkan WH juga tidak seberat hukuma yang dijatuhkan melalui lembaga peradilan. Muhtasib boleh membakar VCD porno, menyita barang yang ditimbun oleh pedagang sehingga menyengsarakan masyarakat lalu membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin, mengancam pencemaran nama baik, memasukkan ke penjara, sampai kepada mengarak si pelanggar keliling kota dan mengantungi tulisan yang menyatkan dirinya tidak mengulanginya lagi. Tentu ketika menjatuhi hukuman WH harus mempunyai cukup bukti dan memang tampak jelas (terbukti) bahwa seseorang betul-betul melanggar syari’at atau tampak jelas seseorang meninggalkan perkara syari’at. Karena itu WH tidak boleh sewenang-wenang, apa lagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tetntu benar. Ini penting karena masyarakat tentu sangat sensitive terhadap segala bentuk hukuman, apalagi kalau ia tidak melanggar syari’at atau hanya berdasarkan prasangka WH saja , kesalahan menjatuhi hukuman akan membuat masyarakat apatis terhadap syari’at. Dan menganggap syari’at mengganggu kebebasan privasi mereka. Sebab itulah untuk tahap awal yang paling penting dilakukan sebenarnya adalah menumbuhkan kesadaran yang sempurna dikalangan masyarakat, baik dengan ceramah atupun yang lebih bagus tingkah laku konkrit para penguasa yang akan menjadi contoh rakyat. Petugas hisbah yang menjalankan amar ma’ruf nahi mngkar wajib menjadikan dirinya orang yang pertama melakukan perkara-perkara ma’ruf dan orang yang pertama meninggalkan perkara-perkara yang mungkar. D. Tugas Muhtasib Adapun muhtasib (pejabat eksekutif amar ma’ruf nahi mungkar), berkewajiban untuk memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkara, yang bukan merupakan wewenang para wali (pejabat), qadhi, orang-orang yang mengurusi lembaga keuangan, dan sejenisnya. Banyak perkara-perkara agama yang menjadi tugas bersama di antara para waliyul amri (pemimpin). Siapa saja yang menunaikan kewajiban dalam menunaikan urusan agama, maka wajib ditaati. Karena itu, muhtasib berkewajiban untuk memerintahkan rakyat untuk mengerjakan shalat lima waktu pada waktunya dan member sangsi kepada siapa saja yang tidak melaksanakan shalat, baik dengan cemeti maupun penjara. Mengenai perkara yang tidak mampu ia kerjakan, ia bisa meminta bantuan kepada pejabat militer dan hukum, dan semua pihak yang ditaati harus saling membantu dalam hal ini. Muhtasib memerintahkan pelaksanaan shalat jum’at dan shalat berjama’ah, menyuruh supaya berkata jujur dan menunaikan amanah, serta melarang berbagai kemungkaran, seperti : dusta dan berkhianat, serta apa saja yang masuk dalam kategorinya, seperti mengurangi takaran dan timbangan, serta penipuan dalam produk, penipuan dalam jual beli, penipuan dalam utang piutang dan sejenisnya. Jelas tugas muhtasib adalah tugas yang berat. Tugas dimana segala sesuatu harus dijalankan dengan komprehensif. Muhtasib haruslah orang yang paham dalam kehidupan social terutama perdagangan day to day (dari hari ke hari). E. Kesimpulan Hisbah adalah sebuah institusi yang bertugas untuk menentramkan kehidupan perekonomian masyarakat. Memang enar, bahwa segala sesuatu yang digariskan oleh Allah dalam firman-Nya dan yang di sunnahkan oleh Rasulullah akan membawa ketenangan batin tersendiri. Hisbah memang ada dalam literature Islami, namun sekitar ada 75 negara yang tidak Islami telah menggunakan metode yang seperti hisbah. Meski Negara yang menerapkan metode seperti hisbah ini dasarnya bukan al-qur’an, namun mereka merujuk pada nilai-nilai yang al-Qur’an ajarkan yaitu keadilan bagi setiap insan. Di Indonesia sendiri, hsbah baru diterapkan di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), karena NAD sudah menerapkan syari’at Islam. DAFTAR PUSTAKA Muhammad, Etika Bisnis Islam, Yogyakarta : Unit Penerbit dan Percetakan. Al-Haritsi, Dr. Jaribah bin Ahmad, Fiqh Ekonomi Umar bin al-Khattab, Jakarta: Khalifa, 2006. Al-mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah, Dr. Nazir Hammad, Mu’jam al-Musthalahat al-Iqtishadiyah fi Lughar al-Fuqaha’, Dr. Ali bin Hasan al-Qarni, al-Hisbah fi al-Madhi Wa al-Hadhir Syaikhu, Ahmad, Kumpulan Fatwa Ibnu Taymiyah Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah dan Jihad / Syikhul Ibnu Taimiyah, Jakarta : Durul Hak, 2005.